Arab Saudi mulai memberikan izin beribadah umrah sejak 5 Oktober 2020, meski terbatas bagi warganya dan ekspatriat yang tinggal di sana. Pada 1 November mendatang, Saudi rencananya akan mulai memberi lampu hijau bagi jemaah dari luar Saudi. Namun, Saudi akan merilis terlebih dahulu negara yang mendapat izin memberangkatkan jemaah. 

Mekah

Sebagai persiapan, Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kemenag mulai menyusun mitigasi risiko penyelenggaraan umrah di masa Covid-19. Direktur Bina Umrah dan Haji Khusus Arfi Hatim mengatakan, mitigasi ini akan dibuat dalam bentuk regulasi yang bisa menjadi acuan bersama seluruh stakeholder penyelenggaraan umrah. "Bentuknya bisa Keputusan atau Peraturan Menteri Agama. Kita masih rumuskan, semoga regulasi ini bisa segera selesai," tegas Arfi di Depok, Selasa (06/10). 

"Jika memang Indonesia diizinkan, prioritas kami memberangkatkan jemaah umrah yang tertunda sejak 27 Februari karena kebijakan Saudi menutup akses masuk," lanjutnya. Menurut Arfi, tercatat ada sekitar 36ribu jemaah yang tertunda keberangkatannya. Mereka sudah melakukan pembayaran ke Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU).

"Fokus kami saat ini memprioritaskan mereka. Data terus divalidasi sembari kami siapkan regulasi," jelasnya. Tahap selanjutnya, kata Arfi, Kemenag akan membahas draft regulasi ibadah umrah di masa pandemi ini dengan Kementerian Luar Negeri, Kementerian Kesehatan, Kementerian Perhubungan, BNPB (Satgas Pencegahan Covid-19), dan asosiasi PPIU. 

"Penyelenggaraan umrah era pandemi diharapkan bisa memberi pengalaman bagi penyelenggaraan haji 1442H," tuturnya. Formula 6-6-3 Pentingnya regulasi disoroti juga oleh Menag periode 2014-2019 Lukman Hakim Saefuddin. 

Hadir sebagai narasumber, LHS menilai Kemenag harus segera menyiapkan regulasi penyelenggaraan umrah di masa pandemi yang akan menjadi dasar kebijakan. Pria yang akrab disapa LHS ini mengenalkan formula 6-6-3 dalam mitigasi umrah di masa pandemi. Dia menbagi dalam tiga kelompok, pra penyelenggaraan (keberangkatan), saat penyelenggaraan, dan paska penyelenggaan (kepulangan). "Penyiapan regulasi adalah yang pertama harua dilakukan dari enam tahapan pra penyelenggaraan," tegas LHS. H

al kedua adalah merumuskan konsep distribusi kuota. LHS menduga, Saudi akan menetapkan kuota dalam penyelenggaraan umrah di masa pandemi. "Setiap negara mendapat kuota yang harus didistribusi beradasarkan lokus (provinsi) dan tempus (waktu). Bisa jadi akan ada jadwal penyelenggaraan umrah (bulanan). Ini perlu dirumuskan," ujar LHS. 

Ketiga, penerapan protokol kesehatan sejak dari rumah sampai tempat karantina. "Karantina bisa memanfaatkan asrama haji," terangnya. Keempat, penerapan protokol saat jemaah mengikuti karantina. Termasuk dalam hal ini adalah protokol pelaksanaan swab dan bagaimana penanganannya jika ada jemaah terkonfirmasi positif. Kelima, penerapan protokol di bandara tanah air.

"Mitigasi keenam adalah penerapan protokol dalam pesawat. Harus dipastikan juga bahwa penerbangannya adalah direct flight," tegasnya. Enam skema lainnya, lanjut LHS, diperlukan pada tahap penyelenggaraan umrah. Ini diawali dengan penerapan protokol di Bandara Saudi (Jeddah/Madinah), tidak hanya bagi jemaah tapi juga petugas PPIU yang mendampingi jemaah. Kedua, penerapan protokol perjalanan darat dari bandara Saudi ke hotel.

Ketiga, penerapan protokol di hotel. "Ini bisa mengikuti ketentuan Saudi. Namun, protokol kita juga harus mengatur hal-hal detail terkait aktivitas jemaah selama di hotel," tuturnya. Keempat, penerapan protokol bagu jemaah saat berada di Masjidil Haram dan Nabawi. Kelima, penerapan protokol jelang kepulangan. "Jemaah harus dipastikan dalam kondisi negatif Covid-19. Bisa dengan melakukan swab tes sebelum naik pesawat dari Saudi," ucapnya.

 "Terakhir, penerapan protokol jika ada jemaah yang terkonfirmasi positif Covid di Saudi. Ini tentunya juga terkait kebijakan Saudi," sambungnya. Untuk mitigasi pasca umrah, LHS menggarisbawahi tiga hal, yaitu: penerapan protokol di Bandara Saudi (Jeddah/Madinah) sebelum pulang, protokol di pesawat saat menuju tanah air, dan protokol di Bandara di Tanah Air. 

LHS mendorong agar rumusan regulasi bisa didiskusikan dengan stakeholders penyelenggaraan umrah. Dengan demikian, keputusan yang diambil nantinya bisa menjadi tanggung jawab bersama, baik PPIU maupun kementerian dan lembaga terkait.***