Breaking News
---

Pembelajaran Tatap Muka Digelar, Klaster COVID-19 Ditemukan

Ruang kelas itu hanya terlihat diisi beberapa orang. Satu bangku di isi satu orang. Mereka mengenakan masker. Ada juga yang mengenakan faceshield. Di kelas itu, mereka terlihat tekun menyimak pelajaran dari gurunya.



Begitulah suasana uji coba pembelajaran tatap muka yang ada di SD Negeri Pademangan Barat 11 Jakarta. Sekolah ini, dan beberapa sekolah lainnya memang sedang melakukan uji coba pembelajaran tatap muka selama masa pandemi COVID-19 sebelum pembelajaran tatap muka digelar Juli nanti.

Uji coba pembelajaran tatap muka ini menjadi harapan ”menormalkan” pendidikan di masa pandemi COVID-19. Dengan membatasi jumlah siswa yang masuk sekolah dan menerapkan protokol kesehatan yang ketat diharapkan sekolah tetap menjadi tempat yang aman dari risiko penularan COVID-19.

Hal inilah yang mendasari empat menteri meneken surat kesepakatan bersama tentang panduan penyelenggaraan pembelajaran di masa pandemi. Setelah dinilai memenuhi persyaratan sebagaimana tercantum dalam daftar periksa untuk membuka sekolah, sejumlah sekolah mulai dibuka.

Namun setelah uji coba dilakukan ternyata justru sekolah menjadi klaster penularan COVID-19. Di Jambi, misalnya. Setelah mereka menggelar uji coba pada 1 Maret 2021, klaster penularan di sekolah terjadi. Padahal pembukaan sekolah dilakukan setelah ada tren penurunan kasus COVID-19 di masyarakat, juga diawali dengan simulasi dan tes usap untuk sekitar 4.000 guru.

Setelah terjadi kluster sekolah di SMA Negeri 1 Jambi, SMAN 4 Jambi, SMA Titian Teras Jambi, serta SMK Pembangunan Pertanian Pemayung Batanghari, sekolah pun ditutup lagi.

Pun di Wonogiri, Jawa Tengah. Pemerintah setempat terpaksa menghentikan sementara pelaksanaan pembelajaran tatap muka (PTM) di SMAN 1 Wonogiri dan SDN 2 Baturetno di masa pandemi. Penghentian ini dilakukan karena seorang siswa SMAN 1 Wonogiri dan satu guru SDN 2 Baturetno terdeteksi positif COVID-19.

“Jadi yang kami hentikan sementara kegiatan PTM-nya sementara ada dua sekolah yakni SMAN 1 Wonogiri dan SDN 2 Baturetno,” kata Bupati Wonogiri, Joko Sutopo pertengahan April lalu.

Satu siswa SMAN 1 Wonogiri terdeteksi terpapar corona saat hari pertama uji coba PTM, Senin (5/4/2021). Siswa itu itu dinyatakan positif berdasarkan tes cepat antigen. Setelah dilakukan pemeriksaan swab PCR, siswa itu dinyatakan positif Covid-19. Sementara itu guru SDN 2 Baturetno yang dinyatakan positif tiga hari sebelum dilakukan uji coba PTM.

Proses pembelajaran tatap muka ini mendapat perhatian Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Dari hasil evaluasi yang dilakukan Komisi di Jakarta, menurut Komisioner KPAI Retno Listyarti, uji coba sekolah tatap muka di Jakarta membuat sebagian guru lelah.

Dia menjelaskan, hal tersebut ditemukan di SDN Kenari 08 Jakarta Pusat yang menerapkan uji coba belajar tatap muka selama tiga jam, ditambah dengan pembelajaran jarak jauh (PJJ) untuk siswa yang belum mendapat izin orangtua mengikuti belajar tatap muka.

"Jadi mereka terlalu lelah tanpa ada jeda istirahat, ngajar terus tiga jam itu ternyata memakan energi yang cukup melelahkan," kata Retno dalam diskusi virtual, Kamis (22/4/2021).

Guru SD merupakan guru kelas yang mengampu semua mata pelajaran, sehingga banyak tenaga yang diperlukan saat proses belajar mengajar.

Menurut Retno, proses belajar yang dipatok tiga jam dalam sekali pertemuan akhirnya harus berjalan dua jam saja, lantaran guru-guru merasa lelah. "Apalagi guru-guru ini juga harus melayani PJJ, ini juga problem sebenarnya bagi si guru," kata dia.

Selain mengkritisi banyaknya guru yang kelelahan dengan sistem belajar tatap muka tersebut, Retno juga meminta jeda pulang sekolah setiap kelas diperpanjang.

Saat ini jeda kepulangan setiap kelas hanya berjarak tiga menit, sehingga dinilai berpotensi menimbulkan penumpukan di pintu gerbang. "Karena banyak orangtua yang terlambat menjemput anaknya," kata dia.

Secara umum, kasus COVID-19 di Indonesia mulai menurun tetapi masih fluktuatif. Rasio positif (positivity rate) COVID-19 nasional masih berkisar 11-12 persen, di sejumlah daerah lebih rendah tetapi juga ada yang lebih tinggi. Ini menunjukkan kasus penularan COVID-19 di masyarakat masih tinggi.

Kasus COVID-19 pada anak pun masih tinggi. Data covid19.go.id per 26 Maret 2021 menunjukkan kasus Covid-19 pada anak mencapai 12 persen dan per 24 April 2021 mencapai 12,2 persen. Tingkat kematian akibat COVID-19 pada anak juga tinggi, sekitar 3 persen.

”Yang jadi concern, yang meninggal paling banyak anak balita dan anak usia 10-18 tahun. Ini harus menjadi perhatian kalau mau (buka) sekolah,” kata Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Aman B Pulungan, dalam diskusi panel bertema School Re-Opening: Evidence Based and Socio-cultural Consideration, Sabtu (24/3/2021) secara daring.

Dari 248 kasus kematian akibat COVID-19 pada anak, kata Aman, sekitar 46 persen terjadi pada anak usia 0-5 tahun, 33 persen pada anak usia 10-18 tahun. Tingginya komorbiditas (penyakit penyerta) pada anak serta cakupan layanan kesehatan yang belum menyeluruh menjadi penyebab tingginya angka kematian anak karena COVID-19.

Karena itu, kata Aman, anak-anak dengan penyakit-penyakit tertentu tetap tidak boleh ke sekolah di masa pandemi ini. Pemetaan siswa dan warga sekolah lainnya yang memiliki komorbiditas mutlak dilakukan.

Persiapan pembukaan sekolah juga tidak hanya perlu dilakukan di sekolah, tetapi juga di luar sekolah. Menjaga disiplin protokol kesehatan di sekolah mungkin lebih mudah dilakukan, tetapi bagaimana di luar lingkungan sekolah termasuk di masyarakat dan keluarga.

Protokol kesehatan cenderung kendur begitu siswa berada di luar lingkungan sekolah. Hasil evaluasi Dinas Pendidikan Kota Bekasi, Jawa Barat, atas pelaksanaan uji coba PTM terbatas menunjukkan sejumlah siswa SMK Negeri 44 Jakarta mengendurkan protokol jaga jarak dan penggunaan masker saat mereka pulang dari sekolah.

Kurangnya kepatuhan protokol kesehatan di masyarakat memengaruhi kondisi tersebut. Pemantauan kepatuhan protokol kesehatan tingkat nasional per 10 April 2021 di laman covid19.go.id menunjukkan di sebagian besar kabupaten/kota tingkat kepatuhan pemakaian masker di masyarakat masih rendah. Baru 34,68 persen atau sekitar 120 kabupaten/kota yang masyarakatnya memiliki tingkat kepatuhan tinggi (di atas 90 persen).

Pembukaan sekolah di masa pandemi, kata pendiri Lapor Covid-19 Irma Hidayana, menyangkut banyak ekosistem, tidak hanya ekosistem sekolah. Hal ini sering kali kurang diperhatikan, padahal situasi rumah dan lingkungan tempat tinggal siswa berbeda satu sama lain dan bisa memengaruhi keamanan sekolah. ”Ada yang tinggal di zona bahaya, ada yang protokol kesehatannya kendur,” katanya.

Anggota keluarga yang tinggal satu rumah dengan siswa juga harus menjadi pertimbangan. Survei IDAI yang direspons sekitar 17.400 orangtua siswa menunjukkan 66 persen siswa tinggal di rumah yang ada orang lanjut usia (lansia) dan anak di bawah usia lima tahun (balita). Lansia dan anak balita juga harus dijaga ketika sekolah dibuka karena termasuk kelompok berisiko tinggi terinfeksi COVID-19. Jika anak terinfeksi di sekolah, dia berpotensi menularkannya kepada anggota keluarga lainnya.

Survei IDAI juga mengungkap banyak orangtua yang masih mengkuatirkan keamanan anak-anak mereka jika PTM di sekolah. Dari survei itu terungkap 46,8 persen orangtua mengizinkan anak mengikuti PTM jika sekolah menerapkan protokol kesehatan; 23,8 persen menyatakan mengizinkan jika sudah tidak ada kasus COVID-19 di sekolah; 15,1 persen mengizinkan jika ada penurunan kasus; dan 13 persen orangtua sama sekali tidak mengizinkan anak belajar di sekolah selama pandemi.

”Jadi fifty fifty (50 : 50 persen) antara mereka yang mengizinkan anak ke sekolah dengan persyaratan dan yang tidak mau sama sekali,” kata Aman.

Menurut Retno, saat ini hingga akhir tahun ajaran 2020/2021 seharusnya digunakan sebagai masa persiapan, bukan uji coba PTM terbatas. Uji coba dilakukan mulai Juli 2021, tergantung kondisi daerah

Baca Juga:
Posting Komentar
Tutup Iklan