Disela-sela Musrenbang Kecamatan Lemahabang, Kamis (17/2), Anggota DPRD PKS dr Atta Subagjadinata dan Dewan Partai Demokrat H Mahpudin, di buat "geram" karena maraknya proyek "jumbo" normalisasi yang di lakukan di program 2021. Selain banyak yang tidak di butuhkan, usulan non normalisasi dan pengerukan, justru lenyap dan di salip begitu saja. Bahkan, Kades Lemahmukti H Damung, mengaku sering di tawari ganti-ganti program infrastruktur di luar usulan Musrenbang yang dominasinua juga selalu ke normalisasi.

dr. Atta Subagjadinata


"Saya mengajukan pengadaan DAM Cikamirin sejak 2018. Baik ke dinas PUPR, BBWS hingga mendatangi kantor-kantornya di Karawang dan Purwakarta. Dan bertemu langsung dengan Kabid hingga kasienya, bahkan setiap Musrenbang kami selalu input setiap tahun saking pentingnya untuk pengairan sekitar 250 hektar sawah. Tapi, justru tidak pernah realisasi dan malahan di tawari proyek lain yang tidak di usulkan, yaitu tadi normalisasi atau pengerukan, " Kata Damung.


Wal hasil, karena di tawari demikian, dari pada tidak ada program pembangunan di desa sama sekali, lebih baik pihaknya menerima saja, meskipun normalisasi ini tidak begitu di perlukan di desanya. Sementara, harapan realisasi DAM Cikamirin sampai sekarang masih saja tidak muncul. Akhirnya sambung Damung, karena di tawari normalisasi, pihaknya di arahkan membuat proposal lagi, di ulang lagi dan mengajukan lagi, karena diberinya demikian dari atas.


"Ya dari pada gak ada program pembangunan, di tawarinya itu ya kita terima saja kan ujungnya. Akhirnya ya kita buat proposal lagi. Kalau begini terus, ya bener, yang di ajukan apa yang ditawari juga apa, "  Kata Damung mengakui.


Anggota DPRD Karawang dr Atta Subagja Dinata dengan keras menolak aspirasinya untuk di ajukan dalam program normalisasi. Jujur, ini sudah keterlaluan, sebab hampir di setiap kecamatan termasuk Lemahabang ini, normalisasi sungai juga banyak mendominasi ditengah belum begitu pentingnya kebutuhan dan sisi kemanfaatannya. Ini jelas bukti tidak akomodatifnya Pejabat Pemkab terhadap usulan-usulan yang sakral di ajukan desa.


"Olok kopi olok rokok, desa sudah bela-belain rapat Musrenbang dusun, desa hingga kecamatan bersama masyarakat, tapi kalau hasilnya begitu terus, jelas kita harus evaluasi bersama, " Katanya.


Istilah di tawari sambung Atta, jelas melenceng dari UU Nomor 25 tahun 2004, dimana seharusnya perencanaan pembangunan itu bottop up, yaitu dari bawah. Dirinya yakin, Bupati dan Wakil Bupati Karawang juga tidak begitu tahu persoalan ini, dikira sudah sesuai, tapi ternyata kinerja anak buahnya yang cenderung Top Down, harus di evaluasi optimal. Cukup tahun kemarin yang banyak pelanggaran dari ruh Musrenbang itu terjadi, tapi mulai di SIPD ini, semua perencanaan harus goal dan sesuai dengan usulan yang di harapkan.


"Saya buka disini, proyek normalisasi itu faktanya jadi "Bancakan" oknum-oknum rekanan. Tapi atuh da nemen-nemen teuing mah teu kira-kira (Tapi kalau berlebihan banget begini, keterlaluan_red), " Katanya.


Ingat Dinas PUPR punya anggaran sekitar Rp600 Milyar, kemudian di peta kan dari Pokir DPRD masing-masing Rp6 Milyar di kali 50 sudah Rp 300 Milyar, program reguler pemerataan misalnya Rp200 juta per desa dengan batasan prioritas misalnya habis Rp200 Milyar. Fokuskan itu, kalaupun ada sisa misalnya Rp100 Milyar, itu ia anggap bisa di toleransi jika top down (Dari atas ke bawah), tapi yang usulan di lapangan (Bottom Up) kiranya ini harus menjadi prioritas dan di jalankan. 


"Jangan main-main di normalisasi/pengerukan. Di Cilamaya saja di keruk ketika hujan tetap banjir, seketika alasannya faktor alam lagi, jadi ya ini perlu kami ingatkan terus, " Katanya. (Rd)