Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menilai, pengesahan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan (UU TPKS) pada 12 April 2022 lalu menjadi sebuah langkah maju dalam mencegah angka perkawinan anak di Indonesia.

Dalam pasal 10 UU TPKS telah diatur pengaturan pidana penjara bagi pelaku pemaksaan perkawinan yang dapat diancam pidana penjara paling lama 9 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp200 juta. Dalam Pasal 11 dijelaskan bahwa selain pidana penjara dan denda, pelaku dapat dijatuhi pidana Tambahan berupa hak asuh anak," ujar Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Kemen PPPA, Agustina Erni, pada Senin (18/4/2022).

Agustina Erni

Erni mengatakan bahwa perkawinan anak saat ini masih menjadi isu nasional yang perlu mendapatkan perhatian dan sinergi multisektor, terutama pada masa pandemi COVID-19. Ia mengungkapkan bahwa pada masa pandemi COVID-19 terjadi peningkatan pengajuan dispensasi kawin di beberapa daerah di Indonesia. Beberapa alasan maraknya perkawinan anak, yakni menghindari zina, belum meratanya pemahaman kesehatan reproduksi yang komprehensif, dan faktor ekonomi.

"Berdasarkan data Badan Peradilan Agama (Badilag) pada 2019 terdapat 25.280 kasus pengajuan dispensasi kawin. Pada 2020 angka ini melonjak hingga 65.301 kasus, dan pada 2021 masih tinggi dengan jumlah 63.350 kasus. Artinya ada peningkatan sekitar 300 persen. Berdasarkan data yang kami terima, dispensasi kawin tertinggi berada di daerah Jawa, yaitu di Pengadilan Agama Kota Surabaya, Pengadilan Agama Kota Semarang, dan Pengadilan Agama Kota Bandung," jelas Erni.

Menurut Erni, hal ini juga didukung oleh adanya peningkatan batas usia kawin 16 tahun menjadi 19 tahun sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

"Perkawin anak bukan hal yang bisa kita anggap remeh karena berdasarkan informasi yang kami terima dari Badilag, pada umumnya usia perkawinannya hanya bertahan 1-2 tahun. Jika terdapat sekitar 65 ribu pasangan yang mengajukan dispensasi kawin dan misalnya satu keluarga tersebut memiliki satu atau dua anak. , artinya maka bisa mencapai 130 ribu anak yang terancam mendapatkan pengasuh tidak layak," tuturnya.

Erni mengatakan perkawinan anak menimbulkan berbagai dampak negatif, seperti risiko kematian ibu melahirkan di usia muda, stunting, angka kemiskinan, dan masih banyak lagi. Kondisi ini pasti akan memengaruhi target yang ada dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN), maupun strategi nasional pengurangan usia anak," tulisnya.

Untuk mengatasi hal tersebut, Erni mengatakan bahwa berjuang untuk melakukan berbagai upaya pencegahan dan penanganan pendidikan anak, salah satunya melalui rancangan peraturan pemerintah (RPP) tentang dispensasi kawin.

"Saat ini RPP tersebut sedang berproses di Sekretariat Negara. RPP ini akan mengatur bagaimana Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat dapat melakukan koordinasi, sinkronisasi, dan sinergi bersama, serta diikuti upaya peningkatan kapasitas Hakim Pengadilan Agama," ujarnya.

Sebelumnya, Kemen PPPA bersama Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah melakukan deklarasi Pendewasaan Usia Kawin dengan 8 Menteri, dan komitmen 6 lintas agama sebagai upaya pencegahan perkawinan anak.

"Penurunan perkawinan merupakan upaya lintas sektor, baik dari Pemerintah, lembaga masyarakat, dunia usaha, media, perguruan tinggi, tokoh agama, dan tokoh masyarakat. Perkawinan anak merupakan kejahatan terhadap anak karena telah melanggar dan mencederai hak-hak mereka. Mari kita saling bersatu padu, terus gencarkan perkawinan anak, mulai dari keluarga teman, masyarakat ditempat kerja, demi kepentingan terbaik anak," tutup Erni.(if)