Ketua KPK Firli Bahuri mewanti-wanti kepada para Penjabat (Pj) Kepala Daerah agar tidak tergoda keuntungan dari tindak pidana korupsi. Posisi penjabat dinilai sangat rawan terhadap segala macam praktik ‘deal-deal-an’ yang berujung rasuah.

Firli menyebut, terdapat ruang yang sangat rawan untuk terjadinya korupsi pada tingkat kepala daerah. Hal tersebut kerap ditemui KPK saat mengusut kasus di daerah. Dari mulai perencanaan anggaran daerah hingga tahap evaluasi.

“Misalkan ada pokok-pokok pikiran yang disampaikan oleh anggota dewan, itu, bisa terjadi deal, kalau untuk terjadi deal maka di situ di tahap perencanaan ada niat terjadi korupsi,” kata Firli dalam Rapat Koordinasi dengan Penjabat (Pj) Kepala Daerah yang dilangsungkan Kemendagri di Jakarta, Kamis (16/6).

Firli juga mengingatkan praktik-praktik ‘biaya ketok palu’ di DPRD. Biaya ketok palu ini biasanya dikeluarkan agar DPRD mau menyetujui rancangan anggaran pemda. Firli meminta agar hal tersebut dihindari oleh para penjabat kepala daerah.

Ketua KPK

“Belum nanti di tahap pengesahan, mohon ini kepada Pj kepala daerah jangan ada deal, misalnya DPRD bilang ‘saya tidak akan ketok palu kalau saya tidak dikasih uang ketok palu’, ada ongkosnya untuk ketok palu dan ini terjadi,” tambahnya.

Pada kesempatan sama, Firli bahuri membeberkan tiga modus korupsi yang kerap menjerat kepala daerah. Pertama soal gratifikasi. Gratifikasi ini, kata Firli, kerap samar untuk disadari. Sehingga penjabat kepala daerah harus peka di saat ada orang yang memberikan sesuatu dan hal itu terkait jabatannya.

“Saya ingin katakan tidak ada hubungannya dengan si penerima, tetapi yang penting si pemberi tahu bahwa dia memberikan sesuatu, memahami penerima ini memiliki jabatan,” kata Firli.

“Bisa saja Pak Ridwan ini Pj Gubernur Bangka Belitung, datang ke rumah Pak Ridwan bertamu, tahu-tahu meninggalkan tas berisi uang dan bilang enggak apa-apa pak, ini enggak ada kaitannya dengan pekerjaan Pak Ridwan, tetapi dia tahu Pak Ridwan adalah Pj Gubernur Bangka Belitung karena itu dia memberikan uang itulah yang namanya gratifikasi,” kata Firli mencontohkan.

Ridwan yang disinggung Firli ialah Ridwan Djamaluddin. Ia merupakan Dirjen Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM yang kemudian ditunjuk menjadi Penjabat Gubernur Bangka Belitung.

Apabila menerima gratifikasi seperti itu, Firli meminta para penjabat untuk segera melaporkan kepada KPK supaya tidak terpenuhinya unsur pidana. Firli mengingatkan, penjabat dapat melaporkan penerimaan gratifikasi itu maksimal 30 hari sejak diterima.

“Kalau begitu cara yang paling aman adalah menolak, tidak perlu menerima, selesai,” kata Firli.

Modus kedua adalah suap. Firli membeberkan isi pasal 5 UU nomor 31 tahun 1999, terkait peristiwa suap terjadi ketika ada pemberi dan penerima. Tidak pernah terjadi suap, tanpa ada salah satu unsur tersebut. Firli juga memberi contoh alasan yang kerap ditemukan dalam pemberian suap.

"Tidak pernah ada suap terjadi tanpa pemberi dan penerima, karena ada pertemuan, persamaan pikiran, persamaan tindakan, itulah suap. kenapa dia memberi suap? karena dia ingin menggerakkan penjabat gubernur bupati kepala daerah agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu," kata Firli.

"Ini sangat teknis Pak, tapi harus saya sampaikan supaya bapak tahu. Misalnya bapak gubernur ini saya kasih tolong proyek saya bisa dimenangkan, atau tolong menangkan saya nanti bapak saya kasih. Karena suap itu bisa dilakukan memberi karena akan melakukan atau telah melakukan," sambung dia.

Modus terakhir, kata Firli, adalah pemerasan. Modus ini kerap terjadi saat kepala daerah melakukan mutasi pegawai. Ruang pemerasannya, mirip jual beli jabatan.

"Saya ndak tahu kewenangan penjabat kepala daerah apa boleh memutasikan orang, kalau boleh maka itu bisa terjadi pemerasan. Bapak mau bertahan jadi kepala Dinas PUPR atau tidak? kalau mau maka bayar sekian, itu pemerasan," kata Firli.

"Dan saya sudah sampaikan kepada seluruh warga masyarakat kalau ada yang merasa diperas maka laporkan kepada KPK korban pemerasan tidak bisa kita lakukan pidana, kita akan berikan perlindungan," sambung dia.

Firli menekankan tiga hal tersebut kepala para penjabat kepala daerah, karena modus-modus itu yang paling sering ditangani oleh KPK.

Ia membeberkan data bahwa sejak KPK berdiri sampai sekarang telah menangani 1.389 kasus korupsi. Dari data itu, melibatkan tidak kurang dari 22 gubernur, 148 bupati dan wali kota, mengutip dari Laman Kumparan (17/7/22).

“Tahun 2022 saja sudah enam kepala daerah, Pak, yang ditangkap oleh KPK,” kata Firli.

“Saya ingin katakan, ini adalah kegagalan kita semua, kegagalan kita dalam rangka mewujudkan budaya antikorupsi, kegagalan kita dalam membangkitkan pendidikan kesadaran atas bahaya korupsi, kegagalan kita dalam pencegahan, termasuk kegagalan para kepala daerah yang tak mampu melakukan pencegahan agar tak terjadi korupsi,” pungkas Firli,(***)