BREAKING NEWS :
Mode Gelap
Artikel teks besar

Tindaklanjut Putusan MK soal Ciptaker Diharapkan Tidak Multitafsir

Pengamat Hukum Ketenagakerjaan Johan Imanuel, mengingatkan pemerintah untuk berhati-hati dalam menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 168 tahun 2023 tentang Ciptaker. Pasalnya, dalam putusannya, MK memandang pemerintah bersama DPR perlu membentuk Undang-Undang Ketenagakerjaan baru, dengan mengeluarkan klaster ketenagakerjaan dari UU Nomor 6 Tahun 2023.

Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo (tengah) didampingi dua anggota Majelis Hakim MK Saldi Isra (kiri) dan Enny Nurbaningsih (kanan) memimpin sidang putusan putusan uji materi Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (31/10/2024). Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan Partai Buruh dan sejumlah federasi serikat pekerja lainnya terkait uji materi tersebut yakni dengan pengujian konstitusional terhadap 21 pasal dalam UU Cipta Kerja. (ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/rwa)

“Perubahan UU Cipta Kerja atau UU Ketenagakerjaan pascaputusan MK 168 tersebut harus secara hati-hati. Karena dalam pembentukan semua peraturan perundang-undangan harus memenuhi asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dan mencerminkan asas-asas sebagaimana diatur dalam Pasal 5 dan Pasal 6,” kata Johan, dalam keterangan tertulis, Jumat (1/11/2024).

Johan berharap tindaklanjut atas putusan MK dilakukan secara hati-hati. Sehingga tidak akan menimbulkan multitafsir terhadap muatan pasal yang baru nantinya.

“Jika ada salah satu asas tidak terpenuhi, misalnya asas dapat dilaksanakan tetapi ternyata dalam prakteknya tetap bertentangan dengan Putusan MK 168. Maka akan berpotensi diuji kembali muatan pasalnya,” ujarnya.

Setelah perubahan UU Ciptaker dan UU Ketenagakerjaan sebagai tindaklanjut dari Putusan MK 168, sebut Johan, harus diikuti dengan Perubahan Peraturan Pemerintah Turunannya yang terkait. “Hal ini agar dapat segera disosialisasikan ke pihak pengusana dan serikat pekerja untuk disesuaikan kembali," ujarnya. 

"Dengan peraturan otonom. Seperti Perjanjian Kerja, dan Peraturan Perusahaan/Perjanjian Kerja Bersama."

Sebelumnya, MK meminta pemerintah dan DPR untuk segera membuat UU Ketenagakerjaan yang baru. MK memberi waktu maksimal dua tahun untuk menyelesaikan UU tersebut.

MK juga mengingatkan agar pembentuk UU melibatkan partisipasi aktif dari serikat pekerja maupun buruh. Dalam putusannya, MK menegaskan setiap pemberi kerja wajib mengutamakan penggunaan tenaga kerja Indonesia daripada tenaga kerja asing di semua jenis jabatan tersedia.  (*)

Posting Komentar