Jakarta: Presiden Prabowo Subianto menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada 10 tokoh bangsa, Senin (10/11/2025) di Istana Negara. Salah satunya adalah Jenderal TNI (Purnawirawan) Sarwo Edhie Wibowo yang diusulkan dari Provinsi Jawa Tengah.
![]() |
| Jenderal Sarwo Edhie Wibowo (kanan) (Foto: Buku "Kepak Sayap Putri Prajurit/Kisah Sarwo Edhie Wibowo) |
Sebegai penerima plakat dan dokumen gelar Pahlawan Nasional itu adalah ahli warisnya yakni Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Sangat beralasan jika Menteri Koordinator (Menko) Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan itu hadir sebagai perwakilan keluarga.
Sarwo Edhie merupakan ayahanda dari Kristiani Herrawati, istri Presiden Ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono dan ibunda AHY. Lahir 25 Juli 1927 di Purworejo, Jawa Tengah, Sarwo merupakan anak pasangan Raden Kartowilogo dan Raden Ayu Sutini.
Sejak kecil, Sarwo dikenal gemar berlatih bela diri. Dia mempelajari silat sebagai bentuk pertahanan diri dan kedisiplinan pribadi.
Saat Jepang menguasai Indonesia pada 1942, Sarwo tertarik dengan dunia militer. Dia kemudian berangkat ke Surabaya untuk mendaftar sebagai prajurit Pembela Tanah Air (PETA).
Setelah Indonesia merdeka, Sarwo bergabung dengan Badan Keamanan Rakyat (BKR). Dari sanalah karier militernya dimulai dan terus menanjak di lingkungan Angkatan Darat.
Antara 1945 hingga 1951, Sarwo menjabat Komandan Batalion di Divisi Diponegoro. Kemudian selama dua tahun berikutnya, dia dipercaya menjadi Komandan Resimen Divisi Diponegoro.
Karir kemiliterannya dilanjutkan pada 1959-1961 sebagai Wakil Komandan Resimen di Akademi Militer Nasional. Hingga kemudian pada 1962 dia diangkat menjadi Kepala Staf Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat (RPKAD).
Menteri Panglima Angkatan Darat, Jenderal TNI Ahmad Yani, kemudian mengangkatnya sebagai Komandan RPKAD pada 1964. Saat Sarwo memimpin pasukan "baret merah" inilah, peristiwa Gerakan 30 September (G30S) terjadi pada 1965.
Sebagai Komandan RPKAD, kini bernama Komando Pasukan Khusus (Kopassus), Sarwo berperan penting dalam operasi penumpasan G30S. Selain merebut pangkalan udara Halim Perdanakusumah, dia juga memimpin pergerakan pasukan untuk memburu anggota PKI di Jawa Tengah.
Sayangnya, usai keberhasilannya menumpas gerakan tersebut, karier militer Sarwo justru merosot. Pada 1967, dia ditunjuk sebagai Pangdam Bukit Barisan dan kemudian Pangdam Cendrawasih.
Pada 1970-1974, Sarwo menjabat sebagai Gubernur Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Akabri) sebagai akhir kiprahnya di bidang militer. Dia kemudian diangkat sebagai Duta Besar RI untuk Korea Selatan yang menandai karirnya di luar militer.
Sarwo juga pernah menjadi Kepala Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7). Jenderal Sarwo Edhie Wibowo wafat di Jakarta pada 9 November 1989.(*)

