Kepala Badan POM Penny Lukito mengatakan pihaknya terus berinovasi untuk menciptakan sistem yang lebih baik. Salah satu inovasi yang dilakukan BPOM adalah revitalisasi sistem farmakovigilans melalui penerapan dokumen Perencanaan Manajemen Risiko (PMR). 

Farmakovigilans merupakan seluruh kegiatan tentang pendeteksian, penilaian, pemahaman, dan pencegahan efek samping atau masalah lainnya terkait penggunaan obat. Inovasi itu mulai efektif usai terbitnya Peraturan BPOM Nomor 15 Tahun 2022 tentang Penerapan Farmakovigilans. 

"Sesuai dengan peraturan tersebut, salah satu tahapan implementasi farmakovigilans adalah penyusunan Risk Management Plan (RMP). Atau Perencanaan Manajemen Risiko (PMR) oleh industri farmasi sebagai bagian pengawasan pre-market," ujar Kepala Badan Penny dalam keterangan resmi , pada Rabu (20/9/2023). 

Penny menjelaskan, industri farmasi harus menyusun PMR untuk meminimalkan risiko obat sebelum diedarkan. Dengan demikian, farmakovigilans dapat diimplementasikan secara efektif pada saat obat beredar. 

PMR merupakan dokumen yang dirancang untuk mengidentifikasi, menentukan karakteristik. Serta mencegah risiko obat sebelum diedarkan. 

“Industri farmasi memiliki kewajiban untuk menyusun dokumen PMR secara holistik yang mencakup proses pengembangan hingga distribusi produk. Dokumen ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari dokumen registrasi produk,” katanya.

Penerapan kewajiban penyusunan dokumen PMR dilakukan secara bertahap. Berdasarkan data Januari-Agustus 2023 persentase penyerahan dokumen RMP baru mencapai 30 persen dari seluruh permohonan registrasi obat baru yang diterima BPOM.

Karena itu BPOM menyelenggarakan workshop Penguatan Kapasitas BPOM. Dalam Pengawasan Pre-Market melalui Evaluasi Perencanaan Manajemen Risiko di Jakarta. 

Ketua International Pharmaceutical Manufacturers Group, Ani Rahardjo mendukung penuh upaya BPOM menerapkan dokumen PMR ini. Begitu juga dengan Ketua Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia, Elfiano Rizaldi.

 “Ke depan, kita memang harus lebih meningkatkan kapasitas karena industri farmasi selain memproduksi obat untuk masyarakat, tetapi juga mempunyai tanggung jawab terhadap keamanan obat dan dampak terhadap lingkungan,” kata Elfiano Rizaldi.(*)