Cerita ini didulang dari kisah Perang Bubat pada 1357. Bahwa, kapal Jung Mongol yang dipilih dan dinaiki Raja Sunda, Maharaja Linggabuana, dan putrinya Dyah Pitaloka menjadi penanda pertama terjadinya perang besar.

Perang Bubat sangat monumental karena menjadi akhir kekuasaan mahapatih terbesar Kerajaan Majapahit. Pada zaman raja-raja, begitu kisah dimulai, penulis Serat Pararaton menyebutkan Prabu Hayam Wuruk hendak mencari calon istri. 

“Ia mengirim ahli lukis ke berbagai penjuru nusantara. Tujuannya untuk melukis putri-putri daerah setempat,” begitu M. Arief Wibowo, pengarang buku ‘Peradaban Kuno, Sebuah Gambaran Utuh’ menulis.

“Setelah para ahli lukis kembali ke istana, raja tertarik dengan lukisan putri Sunda. Namanya Dyah Pitaloka,” demikian Arief menambahkan ceritanya.

Arief Wibowo, pendiri Jayatara sebuah komunitas peminat kebudayaan dan arkeologi nusantara,  mengatakan butuh waktu 7 tahun untuk meracik sumber hingga menjadi sebuah buku. Sungguh waktu yang tidak singkat, tentu saja.

​Gambar muka buku “Peradaban Kuno, Sebuah Gambaran Utuh” (Foto: RRI/Budi Prihantoro

Hasil meriset Serat Pararaton yang diperkirakan ditulis antara abad 15 dan 17 dalam bahasa Jawa pertengahan itu memiliki cerita berikut ini. “Raja  pun mengirim utusan ke Pasundan bernama Madhu.”

Utusan itu bertugas menyampaikan niat raja memperistri Dyah Pitaloka. Selain itu menyampaikan undangan kepada keluarga Kerajaan Sunda untuk datang ke Majapahit.

Namun, kebahagiaan yang diharapkan malah berbuah tragedi. Tepatnya ketika rombongan Sunda datang ke Majapahit untuk upacara pernikahan. 

Konflik mulai muncul ketika kapal yang membawa rombongan Sunda ternyata merupakan armada dari bangsa Jung Mongol, musuh lama Majapahit. Hal ini menimbulkan kecurigaan dan ketegangan di antara kedua kerajaan.

Pertanda buruk makin terlihat saat Hayam Wuruk hendak menyambut rombongan Sunda di Bubat. Mahapatih Gajah Mada melarang kehendak Hayam Wuruk, karena melakukan penyambutan sama saja dengan merendahkan martabat Majapahit. 

Karena tak kunjung disambut, akhirnya raja Sunda mengirimkan Patih Anepaken untuk menemui Gajah Mada di ibu kota. Oleh Gajah Mada, Anepaken dan seluruh rombongan Sunda justru diminta tunduk di bawah kekuasaan Majapahit. 

Sang patih jelas menolak. Seketika Anepaken kembali ke permukiman rombongan Sunda.

Beberapa hari kemudian, tanpa sepengetahuan Hayam Wuruk datanglah pasukan Gajah Mada ke permukiman rombongan Sunda. Mereka membawa surat yang meminta Pasundan tunduk di bawah kekuasaan Majapahit.

Hal itu sebagai bagian dari Sumpah Palapa Gajah Mada. Sumpah itu adalah untuk mempersatukan nusantara.

Dengan penuh amarah, Raja Sunda menolak. “Kidung Sunda mengungkapkan jawaban rombongan Sunda terhadap surat Gajah Mada tersebut,” begitu petikan tulisan dari Arief.

Penolakan itu berbuntut pertempuran antara rombongan Sunda dan armada yang dibawa Gajah Mada. Karena kekuatannya tidak seimbang, pasukan Sunda bisa dibantai dengan cepat. 

Setelah raja Sunda terbunuh dan tidak ada lagi prajurit laki-laki yang tersisa, istri-istri yang ikut dalam rombongan melakukan bela pati atau bunuh diri. Ini termasuk Permaisuri Sunda, Dyah Pitaloka.

Hayam Wuruk yang baru tahu kejadian itu jelas terlambat datang ke medan Bubat. Sang Maharaja hanya menemukan kehancuran dan penderitaan. 

Hayam Wuruk pun meratapi kepergian Dyah Pitaloka dengan dukacita yang mendalam. Merenungkan kesedihan dan petaka yang menimpa cinta mereka.

Berikut petikan cerita dalam buku 'Peradaban Jawa Kuno':

"Wenesning muka angraras, netra dumeling sadidik. Kang lati angrawit katon, kengisning waja amanis, anrang rumning srigading. Kadi anapa pukulun, ngke pangeran marěka. Tinghal kamanda punyaningsun pukulun, mangke prapta angajawa."

(Maka ditanyalah dayang-dayang, di manakah gerangan tempat tuan putri. Diberi tahulah sang raja, ia berada di tengah, tidur. Maka datanglah Sri Baginda dan melihatnya tertutup kain berwarna hijau keemasan di atas tanah. Setelah dibuka, terkejutlah sang Prabu karena tuan putri sudah menjadi mayat)

"Sang tan sah aneng swacita, ning rama rena inisti. Marmaning pareng prapta kongang mangkw atemah kayêki. Yan si prapta kang wingi, bangiwen pangeraningsun, pilih kari agesang, kawula mangke pinanggih, lah palalun. Pangdaning Widy angawasa."

(Pucat mukanya mempesona, matanya sedikit membuka. Bibirnya indah dilihat, gigi-giginya yang tak tertutup terlihat manis, seakan menyaingi keindahan sri gading. Seakan-akan ia menyapa, “Sri Paduka, datanglah ke mari. Lihatlah kekasihnda, berbakti kepada Sri Baginda, datang ke tanah Jawa)

"Palar-palaren ing jemah, pangeran sida kapanggih, asisihan eng paturon, tan kalangan ing duskreti. Sida kaptining rawit, mwang rena kalih katuju. Lwir mangkana panapanira sang uwus alalis, sang sinambrama lengleng amrati cita."

(Adinda yang senantiasa berada di pikiran ayah dan ibu yang sangat mendambakannya. Itulah alasannya mereka (ayah dan ibu) ikut datang, tapi sekarang jadinya malah seperti ini. Jika saja (rajaku) datang kemarin, wahai rajaku, mungkin (hamba) masih hidup dan sekarang dinikahkan (dengan rajaku). Aduh sungguh kejamlah kuasa Tuhan!)

"Sangsaya lara kagagat, peteng rasanikang ati. Kapati sira sang katong, kang tangis mangkin gumirih, lwir guruh ing katrini, matag paněděng ing santun, awor swaraning kumbang. Tangising wong lanang istri, arereb-rereb pawraning gelung lukar."

(Semakin lama, semakin sakit rasa penderitaannya (sang raja). Hatinya terasa gelap, sang raja semakin merana, tangisnya semakin keras, bagaikan guruh di bulan ketiga, yang membuka kelopak bunga untuk mekar, bercampur dengan suara kumbang)

Setelah wafatnya Putri Sunda di Perang Bubat, Hayam Wuruk kemudian memperistri Paduka Sori, sepupunya sendiri. Sementara pemerintahan di Sunda dilanjutkan Pangeran Niskalawastu Kancana, adik Dyah Pitaloka yang tidak ikut rombongan berangkat ke Majapahit karena masih terlalu muda.

Para ahli yang mengingkari terjadinya peristiwa Perang Bubat menjadikan ketiadaan informasi resmi dari dalam Majapahit sebagai dasar penolakannya. Sementara para ahli yang meyakini terjadinya Perang Bubat menjelaskan, perang ini adalah aib bagi Majapahit, sehingga tidak mungkin tertulis dalam kakawin kerajaan semacam Nagarakertagama.

Dari naskah-naskah kuno yang berkisah tentang kisah Perang Bubat ini menjadikan hubungan Hayam Wuruk dan Gajah Mada menjadi renggang. Dan, terlepas dari cerita  Nagarakertagama, Gajah Mada adalah patih kepercayaan Hayam Wuruk hingga akhir hidupnya. 

Meski akhirnya kisah cinta dua sejoli yang penuh luka itu mengubah peta politik yang ada. Majapahit pun pada akhirnya juga bubar.

Begitulah perjalanan sejarah nusantara yang tidak hanya dipenuhi dengan keindahan seni dan kebesaran kerajaan,  tetapi juga dengan tragedi hingga intrik politik. Termasuk mitos yang hidup hingga sekarang, tentang larangan orang Sunda menikah dengan Jawa.(*)